”UN sudah menjadi tembok besar yang menghalangi anak untuk mampu berpikir logis, tidak hafalan, dan kritis bertanya. Dengan bentuk UN yang sekarang, hilang semua itu. Omong kosong dengan pendidikan karakter,” -Mudji Sutrisno -
Ujian nasional memang masih menyimpan pro dan kontra yang belum jua menemukan titik cerah. Setiap tahunnya, isu tentang keefektifan penyelenggaraan UN terus bergulir ibarat “bola panas”.
Pro Kontra itu artinya bahwa Ujian Nasional “kehadirannya” menjadi perdebatan dan “sangat amat” kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang “setuju”, karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya ujian nasional, sekolah dan guru akan dipacu untuk dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Konon “katanya”, dengan adanya UN siswa didorong untuk belajar secara sungguh-sungguh agar dia bisa lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya. Begitupun dengan “sudut pandang” pemerintah yang “ngotot” untuk mempertahankan Ujian Nasional sebagai finalisasi seorang siswa pada jenjang pendidikan (SMA/MA dan Kejuruan). Asumsi pemerintah juga bahwa ujian nasional “sangat” dibutuhkan, karena sebagai kontrol sejauh mana suatu sekolah itu telah menerapkan dengan baik program pendidikan nasional. Oleh karena itu hasil ujian nasional adalah salah satu indikasi keberhasilan sekolah dalam menerapkan kurikulum pendidikan nasional. Dengan alasan ini maka ujian nasional apapun kendalanya tetap diperlukan.
Sementara, di pihak lain juga tidak sedikit yang merasa “tidak setuju”. Alasan yang tidak setuju, karena menganggap bahwa ujian nasional sebagai sesuatu yang sangat “kontradiktif dan “kontraproduktif” dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang kita kembangkan. Sebagaimana dimaklumi, bahwa saat ini ada kecenderungan untuk menggeser paradigma model pembelajaran kita dari pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif ke arah pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan psikomotor, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar “konstruktivisme”.
Dan bagi penulis, pro kontra ujian nasional ini, “seyogyanya” tidak terjadi kalau semua pihak saling memahami dan menempatkan UN secara proporsional. Menurut penulis, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi “Catatan Kritis” dalam tulisan “Pro Kontra Ujian Nasional” ini:
Pertama, Sudah saatnya mengembalikan fungsi UN sebagai uji diagnostik pemetaan kualitas layanan pendidikan bukan sekedar kelulusan. Ingat!! Penempatan ujian nasional sebagai ujian kelulusan hanya akan menyempitkan kurikulum, melanggengkan pengajaran berbasis soal ujian, dan pembelajaran bersifat hafalan. Tulisan ini tidak berarti desakan untuk menghapuskan UN, tetapi bagaimana caranya mereposisi fungsi UN sebagai “marwah” pemetaan. Dan menurut penulis juga, UN sebagai ujian kelulusan tidak logis mengingat kualitas pendidikan itu berbeda di setiap daerahnya.
Kedua, UN dan relevansi kelulusan siswa. Seperti yang kita ketahui, meski dikatakan tak lagi menjadi satu-satunya penentu, UN tetap menjadi ujung tombak nasib kelulusan jutaan siswa sekolah dasar dan menengah. Anggapan ketidakadilan terhadap aspek penentu kelulusan, juga didasarkan atas mata pelajaran yang di-UN-kan. Keterwakilan mata pelajaran yang di-UN-kan, dianggap masih kurang komprehensif. Mata pelajaran seperti agama, kewarganegaran, seni, dan olahraga seolah hanya menjadi pelengkap mata pelajaran di sekolah. Hal ini mampu berdampak pada “kekurangseriusan” siswa maupun guru dalam mapel tersebut lantaran tidak diikutsertakan dalam UN.
Ketiga, UN dan sistem yang masih lemah. “Impoten-nya” sistem UN yang paling kentara adalah pada pengawasan pelaksanaan UN. Tak sekali dua kali tersiar kabar maraknya kecurangan dalam penyelenggaraan UN, baik di pusat maupun daerah. Kecurangan yang sebenarnya berlandas atas ketakutan tidak mendapat titel “Lulus 100%” ini tidak hanya menjangkiti siswa. Pihak sekolah yang semestinya menjadi motor sportivitas pelaksanaan UN, malah rela mengorbankan idealisme dan turut “membantu” siswa lulus dengan cara yang tidak jujur. Hal lain yakni pada permasalahan teknis, seperti kesalahan “lucu” soal dan LJK bisa di fotocopy, katanya “komputerisasi”, begitupun dengan pengisian data pada lembar jawaban. Masalah ini disebabkan oleh terlalu banyaknya data yang harus siswa isi. UN merupakan saat yang menegangkan bagi sebagian besar siswa. Terlalu banyaknya data yang diisi di awal, mampu menyebabkan buyarnya konsentrasi siswa. Bisa jadi, siswa malah salah mengisi kode paket hingga menyebabkan jawaban tidak valid dan dinilai tidak lulus penilaian UN.
Keempat, UN 2013 ini, ada istilah “Penundaan Ujian Nasional”. Penundaan Ujian Nasional (UN) “pasti”mempengaruhi psikologi Siswa SLTA. Menurut penulis, selain dapat memberikan dampak psikologis bagi siswa dan sekolah, juga memiliki dampak materi dan sosiologis. Contohnya, kerugian materi karena pendistribuan berkas soal dan jawaban. Sedangkan, dampak sosiologisnya, kepercayaan Masyarakat akan menurun terhadap pemerintah selaku Penyelenggara UN.
Kelima, UN dan kepentingan diluar pendidikan, penulis lihat “masih ada” dan ini “berbahaya”, seperti kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. Seperti kita ketahui, Ujian Nasional merupakan “hajat besar” atau “pesta gede-gede-an” masyarakat dunia pendidikan. Pemerintah pun tak tanggung-tanggung merogoh kocek “kurang lebih” sebesar 600 miliar rupiah untuk pelaksanaan UN tahun ini. Beragam kasus dan polemik pelaksanaan UN, layaknya menjadi sarana pembelajaran bagi setiap pihak untuk penyempurnaannya. Dana sebesar 600 miliar yang digelontorkan pemerintah, seyogyanya mampu menyokong penyelenggaraan UN yang berkualitas. Masalah yang berkaitan dengan teknis, dalam sistem penyelenggaraan maupun pengawasan UN, selayaknya diminimalisir dengan memperketat administrasi maupun distribusi soal UN. Tetapi kelihatannya, “hari ini” masih banyak ditemukannya kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus kebocoran soal, nyontek yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan siswa dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya. Terlepas dari kontroversi yang ada bahwa sampai saat ini belum ada pola baku sistem ujian akhir untuk siswa. Perubahan sering terjadi seiring dengan pergantian pejabat. Hampir setiap pejabat ganti, kebijakan sistem juga ikut berganti rupa.
UN dan Potret Pendidikan
Dari fenomena pro kontra UN ini, terlihat potret pendidikan kita “aslinya”. Kita bisa menilik realitas konkret pada momentum UN dewasa ini. Masyarakat bisa menyaksikan bagaimana siswa–siswa yang mengikuti UN harus dikawal dengan penjagaan ekstra, mirip “darurat militer”. Dan ini merujuk pada satu persepsi bahwa produk yang dihasilkan oleh pendidikan belum menciptakan manusia yang seutuhnya, manusia pun ternyata harus dijaga agar tidak berbuat curang dalam UN. Dan begitupun juga, mau atau tidak mau proses pendidikan di Negara kita adalah yang paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Tujuan pendidikan yang menciptakan manusia yang bertanggung jawab dan bermoral ternyata belum dicapai oleh siswa.
Kecurangan dan ketidaksiapan dalam mengikuti UN adalah indikator atas itu semua. Sehingga dapat diasumsikan bahwa potret pendidikan nasional hari ini telah gagal, disebabkan karena pemerintah tidak percaya dengan proses pendidikan. Anda saja pemerintah percaya terhadap output proses pendidikan, maka pemerintah tidak perlu menjadikan siswa seperti ‘terpenjara’.
Menurut penulis, terdapat 2 langkah strategis yang bisa dilakukan pemerintah dalam mereformasi dan merevitalisasi persoalan ”Pro Kontra UN” ini yaitu Pertama, Pihak pemerintah melalui Depdikbud harus merancang sistem ujian atau penilaian yang sistematis, bertahap, dan berkelanjutan. Sistem penilaian harus dapat difungsikan untuk mendeteksi potensi dan kompetensi siswa sekaligus bisa memetakan kompetensi guru dalam keberhasilan pembelajaran di kelas. Hasil UN juga harus ditindaklanjuti dengan berbagai program yang dapat meningkatkan mutu pendidikan secara komprehensif.
Kedua, Sistem penilaian (UN) “kedepan”, harus mampu memberi informasi yang akurat; mendorong siswa untuk belajar; memotivasi guru dalam pembelajaran; meningkatkan kinerja lembaga; dan meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan sistem penilaian yang demikian diharapkan secara berangsur-angsur mutu pendidikan di tanah air akan meningkat. Di lain pihak, para praktisi pendidikan di lapangan, terutama guru dan Kepala Sekolah harus meningkatkan kompetensi dan kinerjanya, sehingga kualitas pembelajaran di kelas akan meningkat dan pada gilirannya akan meningkatkan mutu pendidikan.
Dan ketiga, Penulis, mendesak pemerintah “Kaji Ulang” yang namanya Ujian Nasional” apabila, kelihatannya banyak madlorot dibandingkan manfaatnya, tentu harusnya dihapus saja. Atau bisa saja UN difungsikan sebagai pemetaan, pelaksanaannya tidak harus tiap tahun, tetapi secara periodik 3-5 tahun dengan pengambilan sampel. Jika menjadi ujian kelulusan, ujian nasional (UN) justru mematikan kreativitas siswa dan membuat siswa jenuh belajar. Idealnya, untuk ujian kelulusan, lakukan saja ujian sekolah karena guru dan sekolah yang mengetahui secara persis kondisi siswa. Dengan demikian berapapun standar kelulusan yang akan ditetapkan pemerintah akan selalu siap, tanpa ada rasa takut dan kaget. Di sisi lain pula para siswa dan orang tua juga akan tumbuh kesadaran bahwa untuk mencapai hasil yang memuaskan harus ditempuh dengan kerja keras, sehingga anggapan dalam ujian pasti lulus 100% hilang dari pikiran mereka. Kalau semua pihak sudah pada pemikiran, kesadaran, dan tindakan yang sama, maka mutu pendidikan di Indonesia perlahan-lahan namun pasti akan meningkat. Upaya peningkatan mutu pendidikan tidak bisa ditempuh dengan cara parsial tetapi harus holistik dengan melibatkan semua pihak yang terkait dalam dunia pendidikan.
Kiranya, Pro Kontra UN masih akan terus terjadi, karena dalam perjalanannya sampai hari ini , UN belum juga dievaluasi secara menyeluruh di hadapan publik. Tidak kecuali, UN tetap dilaksanakan meski banyak pihak belum merasa puas terhadap rencana penyelenggaraan tersebut pada tahun mendatang. Atau mungkin UN akan dihapus??